The Invisible Power

invisible-man
Credit : http://www.zmescience.com

Suatu sore di sebuah tempat makan di daerah Jatinangor, iseng saya lontarkan pertanyaan pada kedua teman saya,

“Kalian kalo nggak tercerahkan sama mabda Islam dan ngaji (baca: mengkaji Islam secara intensif, bergabung dalam sebuah pergerakan, dan berdakwah), sekarang jadi  mahasiswa yang kayak gimana?”

Agak lama saya menunggu jawaban.

“Kalo aku kayaknya udah jadi otaku yang ansos dan mager (baca: anti sosial dan malas gerak) karena nge-anime dan manga mulu, sama nggak berani ngomong”

“Kalo aku kayaknya emang jadi aktivis kampus, soalnya dulu ikut OSIS. Tapi aktifnya ya sekedar buat eksistensi aja”

***

Di suatu hari yang lain, saya menanyakan hal yang sama pada teman lainnya. Jawabannya,

“Kalo saya kayaknya akan tetap berubah jadi lebih baik (jadi muslimah yang hanif, mulai pakai hijab, dan ikut pergerakan yang lain) tapi baiknya saya sepertinya masih sebatas untuk diri sendiri aja”

***

Sebelum menanyakan hal tersebut pada mereka, tentu saya menanyakannya pada diri saya sendiri. Kayaknya pertanyaan ini secara alami akan terlintas pada benak seseorang; yang melakukan suatu perubahan besar/mengambil langkah kecil yang diluar dugaan ternyata berdampak besar dalam hidupnya. Yang tak pernah terpikirkan dan tak direncanakan ke arah sana sama sekali.

Ketika sedang melakukan suatu hal, terkadang saya mencoba mengingat, di jam yang sama dengan saat ini sedang melakukan apakah diri saya 4 tahun yang lalu? Apakah berbeda? Apakah sama?

Atau ketika sedang mematut diri di depan kaca dan bersiap untuk pergi, kadang saya senyam-senyum sendiri. Bukan, bukan melihat fisik diri, tapi berkontemplasi.

“Ini beneran kamu? Pakai pakaian seperti ini? Isi kepalamu, pembicaraanmu, tingkah lakumu, aktivitasmu dulu begitu sekarang begini?”

Terkadang pula saya seolah tidak mengenali siapa bayangan yang terpantul di dalamnya, padahal itu diri saya sendiri. Bukan, saya bukan jadi gila. Tapi saking nggak percayanya saya bisa berubah. Meminjam lagu yang suka disenandungkan oleh pengamen jalanan,

“Aku yang dulu, bukanlah yang sekarang. Dulu maksiat, sekarang ku bertaubat..” (asik haha. coba kalo bulan puasa liriknya diganti jadi kayak gini)

Memang belum sampai berubah 180 derajat, karena masih banyak cacat diri yang belum diperbaiki. Tapi untuk menjejakkan kaki sampai pada perubahan ini saja, rasanya masih seperti mimpi.

***

Ada banyak hal yang membuat seseorang berubah, baik temporer atau permanen. Arti berubah disini bukan berubah bentuk jadi monster atau kondisi finansial atau strata sosial. Tapi lebih ke perubahan sikap, cara pandang tentang hidup, karakter, dsb. Salah salah satu diantara sekian banyak penyebab adalah ketika seseorang bersentuhan dengan ideologi (mabda Islam) dan kemudian berpegang teguh padanya.

Teringat perkataan seorang kakak dalam forum kajian, bahwa pemikiran Islam sejatinya memang akan membuat manusia jadi galau. Bukan, bukan galau alay karena putus cinta.

Gimana nggak galau, karena kita diajak berpikir untuk menjawab 3 pertanyaan besar dan mendasar, yang mau nggak mau harus kita cari jawabannya, karena jawaban tersebut akan menjadi guide, landasan, pondasi, aqidah/keyakinan, atau apalah itu dalam hidup kita, terlepas benar atau salah.

Darimana manusia berasal?

Untuk apa manusia hidup?

Akan kemana manusia setelah mati?

Jawaban “Dari Allah, untuk ibadah kepada Allah, dan akan kembali pada Allah” untuk semua orang dan khususnya untuk Muslim, jika benar-benar didapatkan dengan kesadaran, melalui cara berpikir, bukan sekedar jawaban formalitas atau jawaban turun temurun, itu 100% bakal bikin nggak tenang dan kepikiran terus. Diambil, galau.. Karena konsekuensi logis dari pemikiran tersebut adalah harus taat pada aturan Allah. Nggak diambil, tambah galau.. Karena mau menghindar dan mencari alasan segimanapun, udah fitrahnya manusia condong dan yakin akan hal tersebut. Mengambil atau nggak mengambil? Sebuah keputusan yang terlihat sepele di hari yang lalu, tapi justru memberikan dampak yang besar di kemudian hari. Dan yang memutuskannya adalah kita sendiri.

***

Apakah lantas kegalauan berhenti disitu saja? Nggak, saudara-saudari. Kegalauan ini punya seri.

Jika mau mencermati lebih dalam, ternyata Islam bukan hanya sekedar agama ritual, tapi ia adalah diin (sistem hidup) atau familiar dikenal dengan ideologi (mabda), dimana ia punya seperangkat aturan yang komprehensif dalam mengatur kehidupan manusia. Dan mabda itu sendiri, lahir atau berpodasi pada suatu aqidah/keyakinan yang didapat melalui proses berpikir sebelumnya. Sehingga aturan hidup apa yang akan dilahirkan oleh mabda tersebut, tergantung pada aqidah/keyakinan apa yang jadi landasan. Pada akhirnya mabda akan memberikan seseorang sebuah sudut pandang yang khas dalam menjalani hidup. Apakah itu mabda Sosialisme-Komunisme, Sekularisme-Kapitalisme, atau Islam.

Setelah tau Islam adalah mabda; yang bukan hanya mengatur hubungan vertikal kita dengan Allah, tapi juga hubungan horizontal kita dengan diri sendiri dan orang lain, mabda Islam menuntut kita untuk mempunyai ketaatan yang menyeluruh, bukan sekedar ketaatan yang abal-abal. Karena dalam QS. Al-Baqarah [2] : 208 pun, kita emang dituntut untuk masuk ke dalam Islam secara kaffaah (menyeluruh). Bahasa songongnya, udah dikasih hati, minta jantung. Udah diminta yakin, diminta berubah untuk taat, secara keseluruhan pula. Buat yang basicnya udah hanif, mungkin nggak sulit untuk taat (dalam konteks ketaatan personal, bukan sistem). Buat yang begajulan? Mengubah kebiasaan, perilaku dll menjadi Islami tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

Tapi diluar dugaan, mabda Islam punyai kekuatan yang begitu menakjubkan. Mabda Islam mampu mengubah diri seseorang dari Z menjadi A.

Nggak pernah saya sangka bahwa mereka yang kini seorang pengemban dakwah Islam, dulunya itu anak band, atlit pencak silat, anak tongkrongan, tukang pacaran, cewek tomboy, model/mojang, otaku, dan lain sebagainya. Nggak pernah saya sangka juga mereka yang kini menutup aurat secara sempurna dan ibadahnya jempol, dulunya buka aurat dan untuk masbuk ketika solat aja nggak tau gimana caranya.

Mabda Islam pun mampu menundukkan karakter seseorang sesuai dengan hukum syara’. Bukan, bukan mengubah karakter asli seseorang sehingga semua jadi sama layaknya sebuah pabrik yang memproduksi barang. Namun lebih tepatnya menempatkan karakter tersebut sesuai dengan tempatnya.

Ia yang lembut dan sangat feminin bisa menjadi keras dan garang ketika mempertahankan prinsip hijab syar’inya yang dipermasalahkan oleh panitia ospek fakultas. Ia yang gagap berbicara, akan keluar dari zona nyamannya dan mulai berani untuk bersuara karena tau wajibnya dakwah bi lisan meski terbata-bata, dan kembali memilih diam ketika dilibatkan dalam pembicaraan yang berbau gosip. Ia yang pecicilan dan ‘gila’ ketika bersama teman muslimah, bisa ‘ngerem’ dan membawa diri ketika berinteraksi dengan lawan jenis yang bukan mahramnya.

Yang paling menakjubkan, mabda Islam mampu membuat seseorang melakukan hal-hal melewati batas kewajaran dan diluar logika manusia. Hal ini paling sering kita temukan dalam kisah-kisah para Shahabat. Dua diantaranya adalah tentang sikap takut akan harta dan cinta akan mati (mati  syahid di jalan Allah).

Misal, shahabat yang bernama Thalhah bin Ubaidillah termasuk orang kaya di kalangan Muslim. Kekayaannya dipakai untuk kepentingan agama Islam, dan Allah mengembalikannya dengan berlipat ganda. Suatu ketika, istrinya, Su’da binti Auf ngeliat Thalhah lagi cemas, kemudian ditanya dan berbincanglah mereka,

“Apa yang engkau cemaskan?”

“Harta yang aku miliki, kini telah banyak sehingga mencemaskan dan memberatkanku”

“Apa yang menyusahkanmu, bagikan saja harta itu!”

Lalu Thalhah memanggil orang-orang dan ngebagiin hartanya sampai gak bersisa satu dirham pun.

Atau pada suatu hari yang lain, Thalhah ngejual sepetak tanahnya dengan harga tinggi. Ketika ngeliat harta di depan matanya, tiba-tiba berlinanglah air matanya dan berkata,

“Sesungguhnya laki-laki yang menyimpan harta ini semalam di rumahnya, maka ia tidak akan tahu pekara apa yang akan mendatanginya malam itu, maka demi Allah, sesungguhnya ia telah tertipu”

Lalu ia manggil beberapa sahabatnya untuk membantu ngebawain harta tersebut, lalu ngiterin jalanan sambil bagiin itu harta sampai waktu sahur tiba dan nggak tersisa barang sedirham pun.

Setelah  baca, saya cuma geleng-geleng. Kok bisa? Orang tuh ya cemas kalo nggak punya harta. Lagipula hartanya diperoleh dari hasil kerja, bukannya senang kok malah nangis? Ini ada apa sih? Istrinya juga anti-mainstream, bilang “bagikan saja” yang itu bener-bener dibagikan semua tanpa nyisain dulu gitu buat dirinya sendiri. Aduh demi apapun udah nggak ngerti lagi. LOGIKA MANA LOGIKA?!

Kisah-kisah tentang rela disiksa untuk mempertahankan keislaman atau mati syahid tatkala jihad di jalan Allah juga sama. Kisah syahid berdarah-darah mungkin udah terdengar umum, tapi ada satu kisah syahid yang berkaitan dengan air minum, yakni kisahnya Ayyasy bin Abu Rabi’ah, Al-Harits bin Hisyam, dan Ikrimah. Yang pernah baca atau dengar pasti mengiyakan ini tuh lebih di luar nalar lagi.

Jadi, di masa kekhalifahan Umar bin Al-Khattab, Ayyasy bin Rabi’ah berangkat untuk berjihad di Perang Yarmuk. Al-Harits bin Hisyam; yang dahulu pernah menyekap dan memenjarakan dia bersama Abu Jahal. Ikrimah bin Abu Jahal juga tutur ikut serta.

Akhirnya, peperangan selesai dan kemenangan berada di pihak kaum Muslimin. Tapi mereka ber-3 tadi terluka parah dan kehausan. Kemudian seseorang membawakan air pada Al-Harits bin Hisyam. Ketika air didekatkan ke mulutnya, dia ngelihat Ikrimah dalam kondisi yang sama dengannya. “Berikan dulu pada Ikrimah” katanya. Ketika air didekatkan ke mulut Ikrimah, dia ngelihat Ayyasy bin Rabi’ah nengok kepadanya. “Berikan dulu pada Ayyasy!” katanya. Ketika air minum didekatkan ke mulut Ayyasy, dia meninggal. Lalu orang tadi kembali ke Ikrimah, keburu meninggal juga. Pas kembali ke Al-Harits bin Hisyam, juga sama.

Yang terpikir oleh saya adalah, ini sempet-sempetnya oper-operan air minum pas lagi kritis? Kalo orang tanpa mabda Islam ada di posisi tersebut, kayaknya dialog yang bakal muncul itu adalah, “Gue dulu! Yang lain bodo amat!”. Menurut saya ini contoh paling terharu *hiks sekaligus di luar nalar tentang pengorbanan dan altruisme (mendahulukan kepentingan orang lain dibanding diri sendiri).

Apa lagi coba yang bisa membuat para Shahabat berbuat diluar batas kewajaran kalo bukan saking kuatnya pengaruh dan mengkristalnya mabda Islam -yang bermuara pada aqidah Islam dan ketaatan pada Allah semata- dalam diri mereka?

Memang rasanya terlalu jauh kalo harus menyejajarkan dengan kualitas para Shahabat. Tapi ketika mendengar atau membaca pengalaman orang-orang; baik yang saya kenal baik atau sekedar tau nama saja, masya Allah.. Betapa menakjubkannya. Mabda Islam itu kan suatu pemikiran, nggak terlihat oleh kasat mata bentuk rupanya seperti apa, tapi mampu mengubah manusia yang berpegang dan yakin padanya, menjadi sosok-sosok yang luar biasa. Mabda Islam; the invisible power. Mengambilnya, manusia akan dimuliakan. Meninggalkannya, manusia akan dihinakan.

Umar RA berkata, “Kita dimuliakan Allah dengan Islam dan barang siapa yang mencari kemuliaan dengan selain Islam, maka dia akan dihinakan.” (Ibnu Abdil Birr dalam kitab Al-Mujalasah wa Jawahiril Ilmi, juz II, hlm 273).

Bisa saja bukan dihinakan di dunia, tapi di akhirat. Dan bisa saja dihinakan di keduanya.

Trivial decision, major impact. And the decision is in your hands. 


7 thoughts on “The Invisible Power

  1. Ditri: tulisan yang berat jadi ringan. kocaakkkk…

    Iza: aku dulu juga pernah berdoa. padahal cuma doa biasa, kayak minta dikumpulin sama orang-orang yang soleh. ngga taunya Allah Memberikan yang terbaik. alhamdulillah :)

  2. Waah, aku juga pernah kepikiran kayak gitu. Dan aku pribadi juga tidak pernah merencanakan untuk menjadi pengemban dakwah ideologis. But, I think this the answer of my prayer long time ago. This is the way He teach me and I’ve made my decision :)

    Semoga kita tetap istiqomah.

    Ps: as usual, tulisanmu selalu panjang tapi gak bikin bosan :D

    1. Dulu kamu berdoa apa emang, Dit Aamiin YRA :) Iya semoga senantiasa istiqomah. Haha, udah jd ciri khas ya kayaknya? :p Belum bisa nih nulis dengan bahasa yg pendek dan efektif , masih suka kemana-mana.

  3. Pararel world, ever heat that term? google it.

    But anyway, human is flaw, we’ll never ever be perfectly perfect. We’re young and still changing every day. We choose not only big step but also many small steps and never look down every small step you choose/do, it WILL change your life more than you ever imagine.

    When someone choose watching drama serial instead of tafseer one day, it look like small choice, right? But years after I see big different between ppl who choose this or that. :)

    1. I’ve searched about it a few days ago, but still dunno understand =_=” Ah that’s really true. We should’t underestimate the small changes.

Leave a comment